Langsung ke konten utama

SELEMBAR KATA (KELIMA)

"Disini jalanan selalu macet ya?" sebuah suara memaksa Uta memalingkan pandangan dari bias rintik- rintik hujan pada kaca disebelah kanan nya "Tidak, ini hanya karena lampu merah" jawab Uta datar berbarengan dengan jawaban yang sama tentang lampu lalu lintas di luar sana dengan seseorang di sampingnya. Si pemilik pertanyaan yang berada di sebrang meja mengeluarkan kata "Oh" kecil, tapi dia berhasil menarik perhatian Uta sejenak, lagi- lagi wanita muram itu kembali memandangi jalanan bersama lamunan yang sejak beberapa waktu lalu ia tekuni. 

Ruangan temaram bertema Timur Tengah yang di dominasi warna tosca itu mulai ramai dengan hilir mudik pengunjung yang melewati pintu utama berwarna senada. Beberapa pelayan berdiri disamping meja dekat tangga kecil. Uta, suaminya Kel beserta dua temannya Okan dan Avan duduk nyaman di sofa pojok ruangan selewat Adzan Maghrib tadi. Avan yang hari itu kondangan ke daerah Cikupa menyempatkan mampir ke Kemang dan menghubungi kedua temannya yang tak mungkin menolak ajakannya untuk bergabung. Bara sisha disamping nya sudah ditutupi abu tipis, satu jam lamanya dia menunggu teman- temannya datang. Avan memilih tempat ini bukan tanpa alasan, dulu mereka sering berkumpul disini dilanjutkan mampir ke bar sebelum pulang. Hanya Uta bagian baru dari perkumpulan ini, untungnya wanita 35 tahun yang sudah tiga tahun menjadi istri Kel itu mudah menyesuaikan diri dan berbaur mungkin karena sejak sebelum dia menikah teman- temannya kebanyakan adalah lelaki, dia lebih nyaman begitu baginya teman wanita lebih sering merepotkan dan memiliki hubungan yang lebih rumit.

Setiap pertemuan sudah tentu akan menimbulkan rencana pertemuan berikutnya, kali ini mereka membahas tentang Lembang dan Dieng. Disela- sela obrolan itu Okan dan Avan yang duduk bersebelahan sudah sibuk dengan pertunjukan motor balap di layar HP Avan, sesekali Okan berteriak atau mengomentari idolanya yang sedang bertanding. Uta dan suaminya mulai membicarakan tentang rekomendasi staycation di Dieng, dekat tempat kelahiran Uta. 

Dua orang pelayan menghampiri mereka, menyajikan beberapa hidangan, perhatian mereka semua tersita, beberapa menit kemudian Kel dan Okan sibuk dengan Nasi Briyani Kambing mereka, sementara Uta menyulut sebatang rokok dan Avan kembali fokus dengan layar HP. Sesekali Avan melirik Kel yang menyuapi Uta meskipun mereka berada di tempat umum. Bukan pertama kali pemandangan kekanak- kanakan itu diperlihatkan oleh mereka, entah sengaja atau tidak bagi Avan itu bukan sikap dewasa baginya itu bukan romantisme yang perlu di publikasi, tetapi cukup membuatnya iri karena hal seperti itu tidak mungkin dia lakukan.

Pembicaraan mengalir hangat, tentang kesibukan Okan dengan bisnis Qurbannya, Avan yang mengikuti sirkuit weekend ini dan tentu saja masalah percintaan Okan yang menjadi perhatian mereka, maklum saja hanya Okan yang belum berkeluarga diantara mereka bertiga. Sesekali Avan memperhatikan Uta saat dia mengambil alih pembicaraan atau saat mereka berbeda pendapat, ada yang berbeda malam itu.

Ini sudah kali ke lima mereka bertemu, pertama kali saat mereka tiba- tiba berkumpul di Villa pribadinya di Cibodas, Avan yang saat itu liburan bersama keluarganya menghubungi Okan yang ternyata juga sedang berada di sekitar Bogor, lalu ternyata Kel dan istrinya juga sedang di kaki Gunung Gede sejak kemarin. Kedua saat weekend biasa, dia mengumpulkan semua teman yang menjadi komplotan petualangannya dulu dan hal- hal gila senormalnya anak muda di Villa nya di Jonggol. Pertemuan selanjutnya adalah 24 hari lalu ketika dia ada keperluan bisnis dengan koleganya lalu menyempatkan diri untuk mengumpulkan anak- anak lagi tetapi hanya Kel dan Uta yang datang, tentu saja sedikit canggung tapi entah kenapa terasa lebih intim dan seperti seharusnya. Mereka bertiga menghabiskan sebotol Wine dan sebotol Beer di teras glamping sembari membicarakan hal- hal remeh, sungai di bawah mereka cukup tenang dan udara malam itu tidak terlalu dingin meski sudah dini hari. Dan sebelum hari ini dua minggu yang lalu mereka baru saja bertemu di rumah Avan, dia mengundang mereka mampir sebelum menuju ke Glamping di Jonggol miliknya, ini kedua kalinya dia meminjamkan Villa nya untuk pasangan yang belum juga dikaruniai momongan itu.

Uta menyeruput Kopi Turki dihadapannya, disela jarinya terselip rokok putih yang kemudian dia hisap dalam- dalam, tangan kirinya bergeser ke paha sang suami, menempel nyaman disana tetapi dia tengah memperhatikan Okan bercerita dengan serius tentang kegagalan hubungan asmaranya 2 bulan lalu. Sesekali dia menatap Avan yang tertawa sembari seolah- olah meminta dukungan padanya. Sedangkan Kel menghilang dari obrolan, dia memilih mengamati dan tidak banyak ikut terlibat dengan opini- opini mereka. Saat jam menunjukan pukul 9 mereka mulai beranjak, berpisah dengan sedikit kata- kata dan bersalaman. 

Sepanjang sore tadi hujan, sepertinya langit belum selesai menurunkan air. Uta melayangkan pandangan keluar kaca mobil, pikirannya terbebani sedikit persepsi yang mungkin tidak perlu. Seperti ada yang salah, sejak pertemuan kedua dengan Avan dia menjadi lebih berhati- hati, dia adalah wanita yang sering kali kebablasan bicara, ceroboh atau terlihat bodoh, hasil dari ketidakpercayadirian sejak kecil, dia tumbuh menjadi wanita kikuk yang tidak menarik. Tetapi beberapa pertemuan terakhir dia seperti tidak melakukan kesalahan apapun, dia merasa nyaman dan bebas berbicara bahkan dapat sedikit- sedikit bercerita tentang dirinya. Uta begidik saat pikirannya mulai kebablasan kearah yang tidak seharusnya, berusaha mengalihkan semua itu dengan menatap suaminya yang sedang fokus di balik kemudi. 


 


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BEDA TEMA

  Menarik ketika pencapaian pemahaman tentang sesuatu yang tidak akan dimiliki, sejauh apapun itu usaha dan doa. Tapinya kita masih saja merasakan sakit dan tetap saja tidak bisa memaksakan senyum. Terasa seperti kemauan Allah sekuat kemauan w tapi dalam konteks yang beralawanan. Dan ketidaktermilikian itu tetap saja mengganggu. Sejak dulu w selalu berfikir, ujian berat yang w pikul adalah tentang perasaan w atas asmara2 kehidupan yang tidak menyenangkan ini. Lama2 w kek Cu Pat Kai beneran nih, Hasyeeem Lo tau kan, sambil menerawang ke langit, menggerakan jarinya dengan perut buncit dan muka nya yang jelek tapi ngerasa ganteng itu dia berkata “Dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir” Ngeeeeek!!!! Rasanya siapapun yang w inginkan dengan serius, tidak pernah terwujud. Dan sekarang w sedang merasakan ketidakjelasan dalam diri w hwokwokwowkwo Namanya hati, Allah menganugerahkan perasaan ini ke w. Entah bagaimana menyikapinya, mensyukurinya kah [ini sih berat] mengang

HUJAN SORE DI BANGKU KOSONG

 Tidak sedang menunggu siapapun Segelas kopi dingin, air putih kemasan, bangku bangku kosong disebuah cafe sore ini Kumandang adzan yang tak kudengar membuatku ragu melepaskan dahagaku Tujuanku sejelas visual sekitar Tapi aku tidak terburu- buru Aku ingin sendiri saja Dengan lamunan Dan musik yang kau kirimkan Sering tergoda untuk mengatakan "Ayo ketemu" Dan disahut kalimat "Ngapain?" Atau "untuk apa?" Jika diingat lagi, aku sungguh tak bisa memahami segala Hal tentang mu, atau tentang kita Seperti sebuah kebohongan yang dijalani dengan segala rasa. Meskipun aku tak pernah meragukan berapa tulusnya perasaanku padamu Pada akhirnya semua hanya masa lalu juga masa depan yang tak pernah bisa ku ubah (tentang kita, sekali lagi) Jadi aku memilih pada tetap menyimpan mu saja Selamanya, sebisanya aku akan menjagamu Dengan doa baik Dan harapan Hanya itu saja, tanpa pengurangan atau berlebihan