Langsung ke konten utama
On August 09, 2014
7.19 pm

Aku pernah bicara pada awan, pada gunung, pada mentari, pada rumput pada bunga, pada laut, pada ombak pada karang dan pada angin...
Aku telah bicara pada Tuhan untuk bisa menemukanmu...
Seseorang yang tak perlu istimewa seseorang yang biasa saja namun kuat dan bisa..
Kuat untuk bisa berbagi beban hidup denganku, kuat membuat aku bangkit dan kuat untuk menenangkanku saat aku berteriak pada dunia...
Yang bisa menerimaku, berbagi kekurangan untuk saling menyempurnakan, yang bisa membimbingku ke jalan dan kehidupan yang lebih baik, yang bisa berjalan untuk mencari ridhoNya bersamaku...
Aku takkan lelah bicara pada alam, seorang sahabat berkata kepadaku "Alam semesta pun mendengar... dia akan membantumu"

(Di warung mie ayam samping gang, dengan segelas es jeruk)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SELEMBAR KATA (KELIMA)

"Disini jalanan selalu macet ya?" sebuah suara memaksa Uta memalingkan pandangan dari bias rintik- rintik hujan pada kaca disebelah kanan nya "Tidak, ini hanya karena lampu merah" jawab Uta datar berbarengan dengan jawaban yang sama tentang lampu lalu lintas di luar sana dengan seseorang di sampingnya. Si pemilik pertanyaan yang berada di sebrang meja mengeluarkan kata "Oh" kecil, tapi dia berhasil menarik perhatian Uta sejenak, lagi- lagi wanita muram itu kembali memandangi jalanan bersama lamunan yang sejak beberapa waktu lalu ia tekuni.  Ruangan temaram bertema Timur Tengah yang di dominasi warna tosca itu mulai ramai dengan hilir mudik pengunjung yang melewati pintu utama berwarna senada. Beberapa pelayan berdiri disamping meja dekat tangga kecil. Uta, suaminya Kel beserta dua temannya Okan dan Avan duduk nyaman di sofa pojok ruangan selewat Adzan Maghrib tadi. Avan yang hari itu kondangan ke daerah Cikupa menyempatkan mampir ke Kemang dan menghubungi

BEDA TEMA

  Menarik ketika pencapaian pemahaman tentang sesuatu yang tidak akan dimiliki, sejauh apapun itu usaha dan doa. Tapinya kita masih saja merasakan sakit dan tetap saja tidak bisa memaksakan senyum. Terasa seperti kemauan Allah sekuat kemauan w tapi dalam konteks yang beralawanan. Dan ketidaktermilikian itu tetap saja mengganggu. Sejak dulu w selalu berfikir, ujian berat yang w pikul adalah tentang perasaan w atas asmara2 kehidupan yang tidak menyenangkan ini. Lama2 w kek Cu Pat Kai beneran nih, Hasyeeem Lo tau kan, sambil menerawang ke langit, menggerakan jarinya dengan perut buncit dan muka nya yang jelek tapi ngerasa ganteng itu dia berkata “Dari dulu begitulah cinta, deritanya tiada akhir” Ngeeeeek!!!! Rasanya siapapun yang w inginkan dengan serius, tidak pernah terwujud. Dan sekarang w sedang merasakan ketidakjelasan dalam diri w hwokwokwowkwo Namanya hati, Allah menganugerahkan perasaan ini ke w. Entah bagaimana menyikapinya, mensyukurinya kah [ini sih berat] mengang

HUJAN SORE DI BANGKU KOSONG

 Tidak sedang menunggu siapapun Segelas kopi dingin, air putih kemasan, bangku bangku kosong disebuah cafe sore ini Kumandang adzan yang tak kudengar membuatku ragu melepaskan dahagaku Tujuanku sejelas visual sekitar Tapi aku tidak terburu- buru Aku ingin sendiri saja Dengan lamunan Dan musik yang kau kirimkan Sering tergoda untuk mengatakan "Ayo ketemu" Dan disahut kalimat "Ngapain?" Atau "untuk apa?" Jika diingat lagi, aku sungguh tak bisa memahami segala Hal tentang mu, atau tentang kita Seperti sebuah kebohongan yang dijalani dengan segala rasa. Meskipun aku tak pernah meragukan berapa tulusnya perasaanku padamu Pada akhirnya semua hanya masa lalu juga masa depan yang tak pernah bisa ku ubah (tentang kita, sekali lagi) Jadi aku memilih pada tetap menyimpan mu saja Selamanya, sebisanya aku akan menjagamu Dengan doa baik Dan harapan Hanya itu saja, tanpa pengurangan atau berlebihan